Beranda | Artikel
Sirah Nabi 13 - Persusuan Nabi ﷺ
Selasa, 21 November 2017

Setelah kelahiran Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, beliau disusui selama beberapa hari oleh ibunya (ada yang berpendapat selama 3 hari atau 7 hari atau 9 hari), kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam disusui selama beberapa hari oleh Tsuwaibah (budaknya Abū Lahab, paman Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam). Abū Lahab merasa gembira atas kelahiran Muhammad, keponakannya. Karena itu dia memerintahkan budaknya untuk menyusui Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Sebelumnya, Tsuwaibah pernah menyusui Hamzah[1] bin Abdil Muthholib (paman Nabi). Selain Nabi dan Hamzah, Tsuwaibah juga menyusui Abu Salamah bin ‘Abdil Asad Al-Makhzuumi. Oleh karena itu, Nabi, Hamzah, dan Abu Salamah adalah saudara sepersusuan karena sama-sama disusui oleh Tsuwaibah

Ibnu Abbas berkata :

قِيلَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلاَ تَتَزَوَّجُ ابْنَةَ حَمْزَةَ؟ قَالَ: «إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ»

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam ditanya, “Kenapa engkau tidak menikah dengan putrinya Hamzah?” Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan: “Dia adalah putri dari saudaraku sepersusuan.” (HR Al-Bukhari no 5100 dan Muslim no 1447)

Ummu Habībah (istri Nabi) berkata:

فَإِنَّا نُحَدَّثُ أَنَّكَ تُرِيدُ أَنْ تَنْكِحَ بِنْتَ أَبِي سَلَمَةَ؟ قَالَ: «بِنْتَ أُمِّ سَلَمَةَ»، قُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: «لَوْ أَنَّهَا لَمْ تَكُنْ رَبِيبَتِي فِي حَجْرِي مَا حَلَّتْ لِي، إِنَّهَا لاَبْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ، أَرْضَعَتْنِي وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ، فَلاَ تَعْرِضْنَ عَلَيَّ بَنَاتِكُنَّ وَلاَ أَخَوَاتِكُنَّ»

“Kami mendengar berita bahwa engkau akan menikah dengan putrinya Abū Salamah.” Kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam: “Abū Salamah?” Kata Ummu Habībah: “Ya” Kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam: “Kalaulah putri Abu Salamah bukanlah rabibah-ku (anak perempuan bawaan istriku Ummu Salamah –pen) maka tetap saja tidak halal bagiku (untuk dinikahi) karena ia adalah putri saudara sepersusuanku (yaitu Abu Salamah), aku dan Abu Salamah disusui oleh Tsuwaibah. Maka janganlah kalian menawarkan kepadaku putri-putri kalian dan jangan pula saudari-saudari kalian!” (HR Al-Bukhari no 5101 dan Muslim no 1449)

Sehingga putri Abu Salamah adalah mahram Nabi (tidak halal untuk dinikahi oleh Nabi) karena dua sebab, pertama karena ia adalah putri Abu Salamah saudara sepersusuan Nabi, kedua karena putri Abu Salamah adalah rabibah Nabi yaitu putri bawaan Istri Nabi Ummu Salamah.

Setelah Nabi disusui oleh ibunya dan Tsuwaibah, Nabi kemudian disusui oleh seorang perempuan lain yang berasal dari Thāif. Ibu susuannya tersebut bernama Halīmah As-Sa’diyah, seorang wanita yang datang dari Thāif, dan konon kampung beliau masih ada sampai sekarang[2].

Sudah menjadi tradisi orang-orang terdahulu ketika mereka punya anak, mereka akan menitipkan anak mereka untuk tumbuh di perkampungan, bukan di daerah kota (pada saat itu Mekkah adalah kota).

Dahulu, orang-orang kampung biasa datang ke kota untuk mencari nafkah dengan cara mencari anak-anak kecil dari kota yang bisa dipelihara oleh mereka. Pada suatu tahun di musim kemarau, berangkatlah para wanita Thāif, diantaranya adalah Halīmah As-Sa’diyyah. Halimah tiba di Mekkah dengan mengendarai keledai betina. Dan para wanita tersebut berangkat dengan ditemani suami-suami mereka. Saat itu Muhammad kecil ditawarkan kepada mereka, namun semua wanita tersebut menolak tidak ada yang mau menyusui Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Hal ini karena mereka tahu bahwa Muhammad itu yatim (tidak punya bapak), sehingga mereka khawatir tidak akan mendapatkan upah. Karena kaum wanita ini menjual jasa untuk menyusui anak demi mencari upah.

Pada awalnya Halīmah As-Sa’diyyah juga tidak mau menerima Muhammad kecil ﷺ. Namun semua wanita-wanita tersebut mendapatkan anak-anak yang akan disusuinya kecuali Halīmah As-Sa’diyyah. Akhirnya dia pun berdiskusi dengan suaminya untuk mengambil Muhammad, dan dengan berat hati diapun membawa Muhammad untuk disusuinya, di samping itu dia juga membawa anak kandungnya.

Halīmah berkata: “Sebelumnya anak saya tidak bisa menyusu kepada saya, karena musim kering”, sehingga air susu untuk anaknya saja tidak cukup. Namun ajaibnya, ketika dia menggendong Muhammad air susunya tiba-tiba berlimpah dan mampu menyusui anaknya sekaligus Muhammad. Selain itu, yang tadinya dia datang mengendarai keledai betina yang lemah, namun ketika dalam perjalanan pulangnya, keledai itu menjadi kuat. Kemudian sesampainya di rumahnya di Thāif dia mendapati ternyata kambing-kambingnya menjadi gemuk dan susunya berlimpah.

Inilah keberkahan yang dirasakan oleh Halīmah As-Sa’diyyah ketika menyusui Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Karena itu diapun mencintai Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan merawat Beliau dengan sebaik-baiknya. Sampai disebutkan beberapa kali bahwa ibunya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ingin mengambil Muhammad kecil tetapi ditolak oleh Halīmah. Sampai akhirnya pada suatu hari, ibunya memaksa dan akhirnya Muhammad dilepaskan oleh Halimah setelah beberapa tahun disusuinya. Kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dibawa kembali ke Mekkah dan hidup di bawah naungan ibunya.

Sungguh benar firman Allah

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS Al-Baqarah : 216)

Allah juga berfirman :

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (An-Nisaa : 19)

 

Perhatikanlah keadaan Halimah As-Sa’diyah, dia mengalami hal-hal yang ia tidak sukai, keledainya yang berjalan lambat, terlebih lagi ia hanya mendapatkan anak kecil yang ditolak oleh para wanita yang lain. Ia pun hanya menerima Nabi karena terpaksa. Akan tetapi ternyata hal tersebut mendatangkan banyak sekali kebaikan dan keberkahan bagi dirinya, anaknya, keledainya, dan kambing-kambing peliharaannya.

Sungguh betapa banyak perkara yang kita bersungguh-sungguh dan berusaha untuk meraihnya tetapi pada akhirnya kita tidak berhasil dan perkara tersebut malah terjauhkan dari kita. Bisa jadi perkara tersebut buruk bagi kita, hanya saja kita tidak mengetahuinya. Sebaliknya betapa banyak perkara yang kita berusaha menghindar darinya dan kita tidak menginginkannya namun Allah memberikannya untuk kita karena Allah tahu perkara tersebut baik untuk kita.

 

Ada beberapa faidah yang disebutkan oleh para ulama tentang masalah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang disusui di perkampungan Bani Sa’ad di Thaif:

⑴ Pentingnya anak- anak di masa kecil untuk hidup di daerah yang segar. Hal ini merupakan kebiasaan orang-orang Arab, mereka meletakkan anak-anak mereka di tempat-tempat yang segar sehingga tubuh mereka tumbuh dengan sehat. Hal ini juga merupakan kebiasaan para ulama dahulu ketika mereka masih kecil, mereka dititipkan di kampung-kampung Arab sehingga mereka bisa menjaga bahasa Arab mereka. Adapun di kota, bahasanya telah mengalami percampur, karena banyaknya orang dari luar Arab yang datang ke kota. Bahasa Arab yang kuat ini sangat penting untuk memahami Al-Qurān dan Sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

 

Oleh karena itu, sungguh merupakan musibah yang menimpa orang-orang Indonesia ketika tulisan bahasa Arab jawa (pegon) dihilangkan. Dahulu orang-orang tua kita masih menulis dengan tulisan Arab, bahasa Indonesia tetapi tulisannya Arab. Kebiasaan semacam ini akan berpengaruh, orang yang lihai dalam menulis Arab cintanya akan tumbuh terhadap bahasa Arab, sehingga hal ini akan sangat membantu dan memudahkan dalam memahami bahasa Arab.

Umar bin Al-Khatthab pernah mengirim surat yang ringkas kepada Abu Musa Al-Asy’ari, beliau berkata :

أَمَّا بَعْدُ، فَتَفَقَّهُوا فِي السُّنَّةِ, وَتَفَقَّهُوا فِي الْعَرَبِيَّةِ, وَأَعْرِبُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ عَرَبِيٌّ , وَتَمَعْدَدُوا فَإِنَّكُمْ مَعْدِيُوْنَ

“Kemudian daripada itu, hendaknya kalian belajar memahami sunnah, belajarlah memahami bahasa Arab, i’roblah al-Qur’an karena al-Qur’an itu berbahasa Arab, dan hiduplah dengan kehidupan kasar (jangan biasakan hidup bersenang-senang –pent) karena kalian adalah dari kabilah Ma’ad (kabilah yang dikenal dengan hidup keras –pent)” (Al-Mushannaf li Ibni Abi Syaibah no. 30534)

 

Di Arab saudi, sebagian orang ingin agar bahasa yang tersebar adalah bahasa ‘Ammiyyah (bahasa pasaran, bahasa yang tidak memakai kaidah), bahkan sebagian mereka membuat sya’ir-sya’ir dengan bahasa arab yang tidak baku sesuai kaidah. Ini adalah hal yang sangat berbahaya karena jika yang tersebar adalah bahasa Arab pasaran maka akan terlupakanlah kaidah-kaidah bahasa Arab, sehingga akan semakin menyulitkan masyarakat untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah dengan baik. Oleh karena itu, mempelajari bahasa Arab merupakan bagian dari agama. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa belajar bahasa Arab wajib hukumnya bagi yang mampu, karena tidak akan mungkin memahami Al-Qurān dan Sunnah dengan baik kecuali dengan memahami bahasa Arab.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

فَإِنَّ نَفْسَ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ مِنَ الدِّيْنِ، وَمَعْرِفَتُهَا فَرْضٌ وَاجِبٌ، فَإِنَّ فَهْمَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ فَرْضٌ، وَلاَ يُفْهَمُ إِلاَّ بِفَهْمِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ، وَمَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri adalah bagian dari agama, dan mengenal (memahami) bahasa Arab hukumnya adalah wajib, sedangkan memahami al-Qur’an dan as-Sunnah adalah wajib dan ia tidak bisa dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Sesuatu yang wajib yang tidak bisa dikerjakan kecuali dengan perkara tersebut maka perkara tersebut juga hukumnya wajib” (Iqtdha’ Shirathil Mustaqim li Mukhalafati Ashabil Jahim 1/527)

Asy-Syaathibi berkata :

أَنَّهُ عَرَبِيٌّ وَبِلِسَانِ الْعَرَبِ، لاَ أَنَّهُ أَعْجَمِيٌّ وَلاَ بِلِسَانِ الْعَجَمِ، فَمَنْ أَرَادَ تَفَهُّمَهُ، فَمِنْ جِهَةِ لِسَانِ الْعَرَبِ يُفْهَمُ، وَلاَ سَبِيْلَ إِلَى تَطَلُّبِ فَهْمِهِ مِنْ غَيْرِ هَذِهِ الْجِهَةِ

“Al-Qur’an itu Arab dan dengan lisan (bahasa) Arab. Al-Qur’an bukan non Arab dan juga bukan dengan bahasa non Arab. Siapa yang hendak memahami al-Qur’an maka melalui bahasa Arablah al-Qur’an itu dipahami, serta tidak ada jalan lain untuk bisa memahami al-Qur’an kecuali dengan jalan ini” (Al-Muwafaqat 2/102)

Beliau juga berkata :

الشَّرِيْعَةُ عَرَبِيَّةُ، وَإِذَا كَانَتْ عَرَبِيَّةً؛ فَلاَ يَفْهَمُهَا حَقَّ الْفَهْمِ إِلاَّ مَنْ فَهِمَ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ حَقَّ الْفَهْمِ

“Syari’at itu bersifat Arab. Jika syari’at bersifat Arab maka tidak akan ada yang bisa memahaminya dengan pemahaman yang sesungguhnya kecuali orang yang memahami bahasa Arab dengan pemahaman yang sesungguhnya” (Al-Muwafaqat 5/53)

 

Suatu hal yang sangat menyedihkan, betapa banyak orang yang semangat mengajarkan bahasa Inggris, bahasa Jepang, atau bahasa asing lainnya kepada anaknya, sementara mereka enggan mengajarkan bahasa Arab kepada anaknya. Bahkan semangat untuk belajar bahasa Arab tidak ada sama sekali, sampai-sampai sering kita dapati di sebagian kota dibuka kursus bahasa Arab secara gratis namun hanya sedikit yang semangat untuk mendaftar. Sedangkan bahasa Inggris atau bahasa Jepang atau bahasa asing lainnya, meskipun dengan pembayaran yang mahal mereka tetap mau datang. Lantas bagaimana umat ini akan berjaya? Sementara bahasa Al-Qurān dan Sunnah tidak dipahami.

(2)  Tumbuhnya anak-anak di perkampungan dengan kehidupan yang tidak manja akan menjadikan anak-anak tersebut tumbuh sehat dengan tubuh yang kuat, karena mereka terbiasa dengan udara segar khas kampung dan mereka terdidik dengan kehidupan yang keras. Oleh karena itu, Umar bin al-Khatthab berkata :

اخْشَوْشِنُوا وَاخْشَوْشِبُوا وَاخْلَوْلِقُوا وَتَمَعْدَدُوا كَإِنَّكُمْ مُعَدٌّ وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ

“Biasakanlah diri kalian dengan kehidupan yang keras, biasakanlah untuk kokoh, biasakanlah memakai pakaian yang lama, biasakanlah hidup dengan kehidupan yang kasar karena kalian adalah dari kabilah Ma’ad, dan jauhilah oleh kalian kehidupan bersenang-senang.” (Syarh Musykil al-Aatsaar 5/339)

(3) Tumbuhnya anak-anak di perkampungan akan menyebabkan mereka tumbuh dengan normal baik secara fisik maupun pikiran. Berbeda dengan anak-anak yang tinggal di perkotaan, ditambah dengan bangunan-bangunan yang megah dan lingkungan yang sempit. Hal ini akan menjadikan anak-anak itu hidup dalam tekanan, terlebih lagi jika sejak kecilnya langsung dihadapkan dengan permainan game atau komputer, maka sifat kekanak-kanakan mereka akan memudar dan mereka tidak tumbuh sebagaimana sewajarnya anak-anak. Kita saksikan di zaman sekarang ini mulai muncul anak-anak perkotaan yang terkena penyakit autis, hal tersebut bisa jadi diakibatkan oleh perkembangan mereka yang tidak wajar karena tidak di dukung oleh lingkungan yang wajar. Wallahu a’lam.

 

[1] Hamzah bin Abdil Muttholib meskipun beliau adalah paman Nabi akan tetapi umurnya sebaya dengan Nabi. Hamzah dilahirkan dua tahun (ada yang berpendapat empat tahun) sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karenanya Nabi sangat sayang kepada pamannya Hamzah karena ada tiga hal yang mendukung, Hamzah adalah paman Nabi sekaligus saudara sepersusuan, selain itu jarak umur diantara mereka yang dekat. Sehingga tatkala Hamzah meninggal dunia dalam perang Uhud maka Nabi sangat bersedih.

[2] Letak kampung Halimah adalah di dekat wadi (lembah) Nakhlah, antara miqat Qarn al-Manazil dan Hunain. Adapun Mesjid di Thaif yang dikenal dengan Mesjid Halimah As-‘Sa’diyah, lokasi mesjid tersebut tidaklah persis dengan lokasi dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dipelihara dan disusui oleh Halimah (Lihat Tashiih Ad-Du’a karya Bakr Abu Zaid hal 104-105)

 

_____

Jakarta, 03-03-1439 H / 21-11-2017 M
Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1827-sirah-nabi-13-persusuan-nabi.html